Selasa, 24 September 2013

Semuanya Terlahir 'istimewa'

Diposting oleh Eka Suzanna di 10.05 0 komentar

“Permisi, dek… saya mau nanya, rumah sakit Bhayangkari dimana ya?”

Aku memperhatikan lelaki muda yang sedang mengajakku berbicara. Kalau melihat dari perawakannya yang mengenakan kemeja cokelat kotak-kota tanpa dikancing, memperlihatkan kaus dalamnya yang berwarna putih, dan rambutnya yang diberi gel, sepertinya ia seorang mahasiswa. Tapi, yeah, aku bisa saja salah.

“Dek?” tegurnya lagi, mungkin karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Aku menggigit bibir sejenak, dan batinku mulai berperang. Baru saja aku akan memutuskan untuk menanggapinya atau tidak, teguran seorang pria terdengar dari warung makan yang tak begitu jauh dari kami.

“Dek, nggak sopan banget, sih! Kalau orang nanya itu dijawab. Caria pa, Mas?” serunya.

Lelaki di hadapanku segera tersenyum sumringah setelah tadi sempat kesal padaku yang hanya diam membatu di hadapannya.  Ia bergegas menghampiri warung makan itu, dan bercakap sebentar, sebelum akhirnya pergi, mungkin karena sudah mendapatkan apa yang ia butuh.

“Dek,” tegur pria di warung makan itu, lagi. Aku memberikannya lirikan, tanpa benar-benar berani menatapnya. “Lain kali kalau ada orang minta bantuan, dijawab, dong. Kalau nggak tahu, kan, tinggal bilang nggak tahu. Sombong banget jadi cewek.”

Aku menarik napas sejenak, dan menghembuskannya hati-hati. Terselip perasaan tidak enak hati, tapi…. Bagaimana pun mereka tidak mengerti betapa sulitnya berada di posisiku.

“..m..mm..ma..maaf…, M..m..mas…” ujarku akhirnya, berusaha melafalkannya dengan baik, tapi tetap saja tak akan terdengar normal. “S..sa..ya.. b..bu..k..an..n..ny..a bber..m..mak..s..ss..ud.. s..om..bb..onn..ng..”

Pria itu terdiam ketika aku mulai bersuara. Dan aku tidak mungkin salah dengar, dari dalam warung makan itu, terdengar banyak orang yang sedang menahan tawa, mengatupkan bibir rapat-rapat, berusaha tidak menertawakanku terang-terangan. Tapi, tetap saja aku menyadarinya. Dan itu menyakitkan.

==

“Nan..” tegur ibu yang mendapatiku terduduk di kursi depan rumah, baru pulang sekolah dan belu melepaskan sepatu dan tas sekolahku. “Kenapa melamun?”

Aku sedikit mendongakkan kepala, menatap mata beliau sebentar, namun kemudian menggeleng pelan.

Sepertinya ibu menangkap kesedihanku di mataku, karena aku juga bisa menangkap sorot kecemasan di matanya. Namun, beliau selalu menjaga hatiku dengan sangat baik, sehingga tidak pernah berkata apa-apa, dan juga tak ingin terlalu banyak bertanya. Ia tahu, kalau aku memang ingin cerita, aku akan melakukannya nanti dengan sendirinya.

“Ya, sudah.. ayo, ganti baju sekolahnya. Nanti kotor. Ibu sudah siapkan itu, mie goreng dan telur dadar di atas meja. Di makan ya. Ibu mau siap-siap dulu.” 

Mataku masih mengekori ibuku yang kini sedang sibuk menggelar beberapa meja kecil di teras rumah. Sebentar lagi, pasti anak-anak yang mengaji bersama ibu akan datang. Aku segera melepaskan sepatu, kemudian masuk ke dalam rumah. Aku sengaja melambatkan langkahku. Pikiranku masih penuh dengan pertanyaan akan hidup ini. Pertanyaan yang selalu sama seperti kemarin, yang aku rasa tak akan pernah ada jawabannya. Kenapa aku harus berbeda dari manusia normal? Dulu, nenek dan Ibu selalu mengatakan bahwa berbeda, berarti istimewa. Tetapi, dimana letak keistimewaanku?

==
Aku mengelap bibir dengan tissue setelah menghabiskan segelas air putih dalam beberapa kali teguk. Perlahan aku bangkit, dan melangkah keluar rumah. Aku bisa mendengar suara ibu yang begitu lembut sedang menerangkan sesuatu pada anak didiknya. Bahasa ibu yang begitu santun, lembut, keibuan.. sangat terdengar menyenangkan. Aku bersandar di pinggir pintu dengan gerakan hati-hati agar tidak menimbulkan keributan, memperhatikan beberapa anak mungil itu yang terlihat cukup antusias memperhatikan ibu.

“… jangan sesekali menghina makhluk hidup yang lain. Kita semua sama. Tak berbeda. Kita sama-sama diciptakan oleh Tuhan.  Semua orang terlahir dengan tidak sempurna, dengan kelebihan dan kekurangannya. Itu rezeki kita masing-masing. Yang pasti, Tuhan telah menciptakan makhluknya dengan sebaik-baiknya, dan tak ada ciptaannya yang tidak berguna. Apa yang dihasilkan dari tangan Tuhan, selalu istimewa..”

Tubuhku sedikit tergerak saat mendengar kata-kata ibu, dan tanpa sadar menimbulkan derit pintu.

“Loh, Nani?” Ibu sempat agak terkejut saat menolehkan kepalanya ke arahku, namun kemudian tersenyum lembut. Senyuman khas-nya yang sangat aku suka. “Sini,” ibu melambaikan tangan agar aku duduk mendekat di sebelahnya. “Mau nemanin ibu ngajar adek-adek ini?”

Aku tercenung sebentar menatap anak-anak itu. Seorang anak laki-laki , yang mungkin berusia 6-7 tahun, segera mendekat ke arahku sambil tersenyum lebar memperlihatkan satu giginya yang ompong. Aku lantas tertawa, kemudian mengangguk padanya untuk memulai mengaji.
Ibu, terima kasih karena sekali lagi mengingatkanku. Semua manusia tak ada yang sempurna. Tetapi, satu hal yang pasti, semua yang terlahir di dunia ini bukanlah sesuatu yang tak akan bisa berguna.

Minggu, 22 September 2013

Hidupku untuk Senyuman-mu

Diposting oleh Eka Suzanna di 02.34 0 komentar





Aku punya sedikit kisah untuk kalian yang tahun ini akan masuk kuliah, atau mungkin tahun depan. Dan, ini adalah kisahku. Mungkin saja ini bisa menjadi sebuah inspirasi..
            Ketika masih TK, masih berusia 4-5 tahun, saat masih senang-senangnya bermain ayunan dan pelesetan bersama kawan-kawan sebaya, bila diberikan pertanyaan oleh guru: “Nanti kalau sudah besar mau jadi apa, anak-anak?”
“Dokter!”
Aku selalu menyerukan itu dengan lantangnya, bersama dengan hampir semua anak.
“Kenapa?”
“Biar bisa membantu banyak orang.”
“Bagus. Itu cita-cita yang mulia,” puji ibu guru.
Hal yang sama masih terlontar dari mulutku saat SD dan SMP. Ingin menjadi apa? Atau, apa cita-citanya? Maka, dengan penuh percaya diri dan sangat lantang, aku akan tetap menyerukan, “Dokter!” Selain karena ingin membantu banyak orang, kali ini bertambah satu alasan. Menjadi dokter itu, terlihatnya sangat keren!
Kemudian, tiba masanya aku menginjak bangku SMA. Masih sering terdengar pertanyaan yang sama dari orang-orang, walau dalam bentuk kalimat berbeda.
“Nanti kuliah mau masuk jurusan apa?”
“Kedokteran.” Jawabanku sangat mantap.
“Kenapa?”
Bedanya, kali ini aku tak bisa dengan penuh percaya diri menyebutkan alasannya. Sehingga, lebih sering aku hanya menggelengkan kepala dengan pelan. “Entah..”
Untuk membantu orang banyak? Atau hanya karena menjadi dokter itu, terlihat keren? Apapun itu, kedua alasan itu sudah bukan lagi menjadi tujuanku. Aku tak tahu, dan tak menemukan alasan kenapa aku harus menjadi dokter.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, hingga tidak terasa sudah saatnya aku kebingungan menentukan kelas jurusan. Aku akan masuk kelas apa? IPA, IPS, atau Bahasa? Aku bingung.
Pertanyaan-pertanyaan kepo masih terus bergulir.
“Mau masuk jurusan apa? IPA/IPS?”
            “IPS…” jawabku dengan nada melemah dan kurang yakin.
 “Kuliahnya ntar berencana mau lanjut kemana?”
“Nggak tau…” aku benar-benar menggelengkan kepala dengan lemah.
“Maunya ambil jurusan apa?”
“Hm….kedokteran..?”
Jawabanku terdengar seperti pertanyaan, kan? Yah, karena aku benar-benar penuh keraguan saat memutuskan menjawabnya.
Sebenarnya, saat itu aku sudah berniat ingin masuk jurusan komunikasi atau jurusan perfilman.. Karena, ternyata.. selama menjalani masa SMA kelas 1, aku tidak menemukan minat pada bidang IPA, walau aku sangat menyukai pelajaran Matematika. Tetapi, hanya Matematika. Aku benci pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, dan sejenisnya. See? Aku bukanlah anak yang ditakdirkan untuk menekuni bidang IPA. Walau aku belum terlalu pasti menemukan apa minat-bakatku sebenarnya, yang jelas IPA bukanlah impianku. Bukan pilihanku. Tetapi, orangtuaku menginginkan aku menjadi dokter, atau setidaknya seorang apoteker.
 Seandainya setiap orang tua memiliki sifat demokratis, dan memberikan anaknya kebebasan untuk memilih.
Mama menasihatiku, atau mungkin tepatnya berpesan: “Ypenting sekarang masuk saja dulu jurusan IPA. Siapa tahu nanti kamu setelah masuk jurusan IPA, berubah pikiran ingin menjadi apoteker misalnya..”
Ketika aku sempat kukuh memilih IPS, Mama memang tidak marah, tapi.. ia nyaris mendiamkanku seharian. Hm, mungkin tidak benar-benar mendiamkan. Kami masih berbicara baik, hanya saja ada yang tidak normal. Ada yang berubah. Tidak ada senyum bahagia di wajahnya, yang ada hanya sebuah raut kekecewaan.  Itu membuatku sangat sedih. Satu-satunya hal yang paling tidak bisa membuatku kuat adalah raut wajah Mama. Saat ia sedih, kecewa pada diriku, aku merasa sangat bersalah. Aku merasa diriku adalah orang yang paling tidak berguna. Kemudian, aku selalu merenung… selama ini apa yang telah kuberikan pada orangtuaku? Terutama pada ibuku. Tidak ada.. Beliau telah memberikan terlalu banyak padaku. Terlalu banyak. Tapi, apa aku pernah benar-benar memberikannya kebanggaan? Aku tidak pernah masuk peringkat 5 besar sejak aku SMP. Aku tak pernah membuat prestasi apa-apa. Yang kulakukan hanya sekolah, minta uang jajan untuk dihamburkan, dan memperlihatkan nilai raport yang cuma berkecukupan itu. Ibuku tak pernah menuntut apa-apa. Sekarang, ia hanya ingin aku masuk jurusan IPA, dan ingin aku menjadi dokter kelak. Sepanjang hidupnya sejak melahirkanku, setahuku baru kali ini lah ia mulai menuntut akan apa yang seharusnya menjadi hak hidupku.
Aku pun berbesar hati memutuskan masuk IPA. Keputusan yang sempat agak berat waktu itu.. tapi saat itu aku sudah tak memikirkan apapun lagi. Yang aku pikirkan hanya satu, membuat ibuku senang dan tersenyum. Dan, yeah, I got it. Her smile! :’)
 Rasanya sakit sih, menjalani apa yang sebenarnya tak aku inginkan,… tapi rasanya terbayar dengan senyuman beliau.
Pada dasarnya, orangtua hanya ingin anaknya bahagia dan tak terlalu terpuruk selama berjuang dalam hidup. Mereka bercermin pada apa yang terjadi dalam hidup mereka, dan tak ingin hal yang sama menimpa pada anak-anaknya. Sebisa mungkin, mereka ingin memperkecil kemungkinan akan anaknya terluka terlalu banyak dalam menjalani kehidupan yang sangat keras ini. Ingin memberikan pengaman terbaik agar anak-anaknya terselamatkan saat berpijak di kerikil-kerikil tajam.  Hanya itu yang bisa mereka lakukan, selama usia mereka belum berhenti, selama perjalanan waktu mereka masih terus berjalan, selama kedua mata mereka masih bisa memperhatikan pertumbuhan anaknya. Mereka ingin memberikan anaknya kehidupan yang berkualitas, semampu dan sekuat yang mereka bisa. Dan itu hanya karena satu alasan, mereka ingin kebahagiaan untuk anaknya.
Ibu, aku mengerti.. sangat mengerti. Semua ini demi kebaikanku.
Tetapi, Ibu.. ada satu hal yang mungkin engkau, dan para orangtua lainnya lupakan, bahwa sebuah paksaan tak akan bisa menghasilkan kebahagiaan, seberapa kuatpun usaha kita membangunnya.  
Ibu, saat ini aku memang tak mengerti dengan perjalanan hidup yang sedang kujalani. Aku sudah tak lagi menginginkan sebuah impian hidup. Aku bahkan tak pernah membayangkan, dan tak pernah mengharapkan akan menjadi seperti apa aku kelak. Saat ini, keinginanku hanya selalu tentangmu. Tidak ingin membuatmu kecewa, tidak ingin melihat raut kesedihan di wajahmu dalam setiap kegagalanku. Aku sekarang hanya ingin membahagiakanmu. Ini klise. Tapi, aku rasa semua anak di dunia ini menginginkan hal yang sama.
Jadi, Ibu.. izinkan aku membahagiakanmu. Sekarang, kalau aku boleh bertanya, haruskah aku terus melanjutkan skenario perjalanan hidup ini, yang dirancang sesuai dengan keinginanmu, bahkan walau kebahagiaanku sendiri terenggut? Walau aku sudah terlalu lelah menjalaninya? Karena, kebahagianmu prioritasku. Melihat senyummu, favoritku.


Terima kasih kunjungannya~ :)

 

bOLLywood-giRL.coM © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor