Aku
punya sedikit kisah untuk kalian yang tahun ini akan masuk kuliah, atau mungkin
tahun depan. Dan, ini adalah kisahku. Mungkin saja ini bisa menjadi sebuah
inspirasi..
Ketika
masih TK, masih berusia 4-5 tahun, saat masih senang-senangnya bermain ayunan
dan pelesetan bersama kawan-kawan sebaya, bila diberikan pertanyaan oleh guru: “Nanti kalau sudah besar mau
jadi apa, anak-anak?”
“Dokter!”
Aku selalu menyerukan itu
dengan lantangnya, bersama dengan hampir semua anak.
“Kenapa?”
“Biar bisa membantu banyak
orang.”
“Bagus. Itu cita-cita yang mulia,” puji ibu guru.
Hal yang sama masih terlontar
dari mulutku saat SD dan SMP. Ingin menjadi apa? Atau, apa cita-citanya? Maka,
dengan penuh percaya diri dan sangat lantang, aku akan tetap menyerukan, “Dokter!”
Selain karena ingin membantu banyak orang, kali ini bertambah satu alasan.
Menjadi dokter itu, terlihatnya sangat keren!
Kemudian, tiba masanya aku
menginjak bangku SMA. Masih sering terdengar pertanyaan yang sama dari
orang-orang, walau dalam bentuk kalimat berbeda.
“Nanti kuliah mau
masuk jurusan apa?”
“Kedokteran.” Jawabanku sangat
mantap.
“Kenapa?”
Bedanya, kali ini aku tak bisa
dengan penuh percaya diri menyebutkan alasannya. Sehingga, lebih sering aku
hanya menggelengkan kepala dengan pelan. “Entah..”
Untuk membantu orang banyak?
Atau hanya karena menjadi dokter itu, terlihat keren? Apapun itu, kedua alasan
itu sudah bukan lagi menjadi tujuanku. Aku tak tahu, dan tak menemukan alasan
kenapa aku harus menjadi dokter.
Waktu berlalu dengan sangat
cepat, hingga tidak terasa sudah saatnya aku kebingungan menentukan kelas
jurusan. Aku akan masuk kelas apa? IPA, IPS, atau Bahasa? Aku bingung.
Pertanyaan-pertanyaan kepo masih terus bergulir.
“Mau masuk jurusan
apa? IPA/IPS?”
“IPS…”
jawabku dengan nada melemah dan kurang yakin.
“Kuliahnya ntar berencana mau lanjut kemana?”
“Nggak tau…” aku benar-benar
menggelengkan kepala dengan lemah.
“Maunya ambil jurusan apa?”
“Hm….kedokteran..?”
Jawabanku terdengar seperti
pertanyaan, kan? Yah, karena aku benar-benar penuh keraguan saat memutuskan
menjawabnya.
Sebenarnya, saat itu aku sudah
berniat ingin masuk jurusan komunikasi atau jurusan perfilman.. Karena,
ternyata.. selama menjalani masa SMA kelas 1, aku tidak menemukan minat pada
bidang IPA, walau aku sangat menyukai pelajaran Matematika. Tetapi, hanya
Matematika. Aku benci pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, dan sejenisnya. See? Aku bukanlah anak yang ditakdirkan
untuk menekuni bidang IPA. Walau aku belum terlalu pasti menemukan apa
minat-bakatku sebenarnya, yang jelas IPA bukanlah impianku. Bukan pilihanku. Tetapi,
orangtuaku menginginkan aku menjadi dokter, atau setidaknya seorang apoteker.
Seandainya setiap orang tua
memiliki sifat demokratis, dan memberikan anaknya kebebasan untuk memilih.
Mama menasihatiku, atau
mungkin tepatnya berpesan: “Ypenting sekarang masuk saja dulu jurusan IPA.
Siapa tahu nanti kamu setelah masuk jurusan IPA, berubah pikiran ingin menjadi
apoteker misalnya..”
Ketika aku sempat kukuh memilih
IPS, Mama memang tidak marah, tapi.. ia nyaris mendiamkanku seharian. Hm,
mungkin tidak benar-benar mendiamkan.
Kami masih berbicara baik, hanya saja ada yang tidak normal. Ada yang berubah.
Tidak ada senyum bahagia di wajahnya, yang ada hanya sebuah raut kekecewaan. Itu membuatku sangat sedih. Satu-satunya hal
yang paling tidak bisa membuatku kuat adalah raut wajah Mama. Saat ia sedih,
kecewa pada diriku, aku merasa sangat bersalah. Aku merasa diriku adalah orang
yang paling tidak berguna. Kemudian, aku selalu merenung… selama ini apa yang
telah kuberikan pada orangtuaku? Terutama pada ibuku. Tidak ada.. Beliau telah
memberikan terlalu banyak padaku. Terlalu banyak. Tapi, apa aku pernah
benar-benar memberikannya kebanggaan? Aku tidak pernah masuk peringkat 5 besar
sejak aku SMP. Aku tak pernah membuat prestasi apa-apa. Yang kulakukan hanya
sekolah, minta uang jajan untuk dihamburkan, dan memperlihatkan nilai raport
yang cuma berkecukupan itu. Ibuku tak pernah menuntut apa-apa. Sekarang, ia
hanya ingin aku masuk jurusan IPA, dan ingin aku menjadi dokter kelak.
Sepanjang hidupnya sejak melahirkanku, setahuku baru kali ini lah ia mulai
menuntut akan apa yang seharusnya menjadi hak hidupku.
Aku pun berbesar hati
memutuskan masuk IPA. Keputusan yang sempat agak berat waktu itu.. tapi saat
itu aku sudah tak memikirkan apapun lagi. Yang aku pikirkan hanya satu, membuat
ibuku senang dan tersenyum. Dan, yeah,
I got it. Her smile! :’)
Rasanya
sakit sih, menjalani apa yang sebenarnya tak aku inginkan,… tapi rasanya
terbayar dengan senyuman beliau.
Pada dasarnya, orangtua hanya
ingin anaknya bahagia dan tak terlalu terpuruk selama berjuang dalam hidup.
Mereka bercermin pada apa yang terjadi dalam hidup mereka, dan tak ingin hal
yang sama menimpa pada anak-anaknya. Sebisa mungkin, mereka ingin memperkecil
kemungkinan akan anaknya terluka terlalu banyak dalam menjalani kehidupan yang
sangat keras ini. Ingin memberikan pengaman terbaik agar anak-anaknya
terselamatkan saat berpijak di kerikil-kerikil tajam. Hanya itu yang bisa mereka lakukan, selama
usia mereka belum berhenti, selama perjalanan waktu mereka masih terus
berjalan, selama kedua mata mereka masih bisa memperhatikan pertumbuhan
anaknya. Mereka ingin memberikan anaknya kehidupan yang berkualitas, semampu
dan sekuat yang mereka bisa. Dan itu hanya karena satu alasan, mereka ingin
kebahagiaan untuk anaknya.
Ibu, aku mengerti.. sangat
mengerti. Semua ini demi kebaikanku.
Tetapi, Ibu.. ada satu hal
yang mungkin engkau, dan para orangtua lainnya lupakan, bahwa sebuah paksaan tak
akan bisa menghasilkan kebahagiaan, seberapa kuatpun usaha kita membangunnya.
Ibu, saat ini aku memang tak
mengerti dengan perjalanan hidup yang sedang kujalani. Aku sudah tak lagi
menginginkan sebuah impian hidup. Aku bahkan tak pernah membayangkan, dan tak
pernah mengharapkan akan menjadi seperti apa aku kelak. Saat ini, keinginanku
hanya selalu tentangmu. Tidak ingin membuatmu kecewa, tidak ingin melihat raut
kesedihan di wajahmu dalam setiap kegagalanku. Aku sekarang hanya ingin
membahagiakanmu. Ini klise. Tapi, aku
rasa semua anak di dunia ini menginginkan hal yang sama.
Jadi, Ibu.. izinkan aku
membahagiakanmu. Sekarang, kalau aku boleh bertanya, haruskah aku terus
melanjutkan skenario perjalanan hidup ini, yang dirancang sesuai dengan
keinginanmu, bahkan walau kebahagiaanku sendiri terenggut? Walau aku sudah terlalu lelah menjalaninya? Karena, kebahagianmu
prioritasku. Melihat senyummu, favoritku.
0 komentar:
Posting Komentar