Minggu, 22 September 2013

Hidupku untuk Senyuman-mu

Diposting oleh Eka Suzanna di 02.34





Aku punya sedikit kisah untuk kalian yang tahun ini akan masuk kuliah, atau mungkin tahun depan. Dan, ini adalah kisahku. Mungkin saja ini bisa menjadi sebuah inspirasi..
            Ketika masih TK, masih berusia 4-5 tahun, saat masih senang-senangnya bermain ayunan dan pelesetan bersama kawan-kawan sebaya, bila diberikan pertanyaan oleh guru: “Nanti kalau sudah besar mau jadi apa, anak-anak?”
“Dokter!”
Aku selalu menyerukan itu dengan lantangnya, bersama dengan hampir semua anak.
“Kenapa?”
“Biar bisa membantu banyak orang.”
“Bagus. Itu cita-cita yang mulia,” puji ibu guru.
Hal yang sama masih terlontar dari mulutku saat SD dan SMP. Ingin menjadi apa? Atau, apa cita-citanya? Maka, dengan penuh percaya diri dan sangat lantang, aku akan tetap menyerukan, “Dokter!” Selain karena ingin membantu banyak orang, kali ini bertambah satu alasan. Menjadi dokter itu, terlihatnya sangat keren!
Kemudian, tiba masanya aku menginjak bangku SMA. Masih sering terdengar pertanyaan yang sama dari orang-orang, walau dalam bentuk kalimat berbeda.
“Nanti kuliah mau masuk jurusan apa?”
“Kedokteran.” Jawabanku sangat mantap.
“Kenapa?”
Bedanya, kali ini aku tak bisa dengan penuh percaya diri menyebutkan alasannya. Sehingga, lebih sering aku hanya menggelengkan kepala dengan pelan. “Entah..”
Untuk membantu orang banyak? Atau hanya karena menjadi dokter itu, terlihat keren? Apapun itu, kedua alasan itu sudah bukan lagi menjadi tujuanku. Aku tak tahu, dan tak menemukan alasan kenapa aku harus menjadi dokter.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, hingga tidak terasa sudah saatnya aku kebingungan menentukan kelas jurusan. Aku akan masuk kelas apa? IPA, IPS, atau Bahasa? Aku bingung.
Pertanyaan-pertanyaan kepo masih terus bergulir.
“Mau masuk jurusan apa? IPA/IPS?”
            “IPS…” jawabku dengan nada melemah dan kurang yakin.
 “Kuliahnya ntar berencana mau lanjut kemana?”
“Nggak tau…” aku benar-benar menggelengkan kepala dengan lemah.
“Maunya ambil jurusan apa?”
“Hm….kedokteran..?”
Jawabanku terdengar seperti pertanyaan, kan? Yah, karena aku benar-benar penuh keraguan saat memutuskan menjawabnya.
Sebenarnya, saat itu aku sudah berniat ingin masuk jurusan komunikasi atau jurusan perfilman.. Karena, ternyata.. selama menjalani masa SMA kelas 1, aku tidak menemukan minat pada bidang IPA, walau aku sangat menyukai pelajaran Matematika. Tetapi, hanya Matematika. Aku benci pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, dan sejenisnya. See? Aku bukanlah anak yang ditakdirkan untuk menekuni bidang IPA. Walau aku belum terlalu pasti menemukan apa minat-bakatku sebenarnya, yang jelas IPA bukanlah impianku. Bukan pilihanku. Tetapi, orangtuaku menginginkan aku menjadi dokter, atau setidaknya seorang apoteker.
 Seandainya setiap orang tua memiliki sifat demokratis, dan memberikan anaknya kebebasan untuk memilih.
Mama menasihatiku, atau mungkin tepatnya berpesan: “Ypenting sekarang masuk saja dulu jurusan IPA. Siapa tahu nanti kamu setelah masuk jurusan IPA, berubah pikiran ingin menjadi apoteker misalnya..”
Ketika aku sempat kukuh memilih IPS, Mama memang tidak marah, tapi.. ia nyaris mendiamkanku seharian. Hm, mungkin tidak benar-benar mendiamkan. Kami masih berbicara baik, hanya saja ada yang tidak normal. Ada yang berubah. Tidak ada senyum bahagia di wajahnya, yang ada hanya sebuah raut kekecewaan.  Itu membuatku sangat sedih. Satu-satunya hal yang paling tidak bisa membuatku kuat adalah raut wajah Mama. Saat ia sedih, kecewa pada diriku, aku merasa sangat bersalah. Aku merasa diriku adalah orang yang paling tidak berguna. Kemudian, aku selalu merenung… selama ini apa yang telah kuberikan pada orangtuaku? Terutama pada ibuku. Tidak ada.. Beliau telah memberikan terlalu banyak padaku. Terlalu banyak. Tapi, apa aku pernah benar-benar memberikannya kebanggaan? Aku tidak pernah masuk peringkat 5 besar sejak aku SMP. Aku tak pernah membuat prestasi apa-apa. Yang kulakukan hanya sekolah, minta uang jajan untuk dihamburkan, dan memperlihatkan nilai raport yang cuma berkecukupan itu. Ibuku tak pernah menuntut apa-apa. Sekarang, ia hanya ingin aku masuk jurusan IPA, dan ingin aku menjadi dokter kelak. Sepanjang hidupnya sejak melahirkanku, setahuku baru kali ini lah ia mulai menuntut akan apa yang seharusnya menjadi hak hidupku.
Aku pun berbesar hati memutuskan masuk IPA. Keputusan yang sempat agak berat waktu itu.. tapi saat itu aku sudah tak memikirkan apapun lagi. Yang aku pikirkan hanya satu, membuat ibuku senang dan tersenyum. Dan, yeah, I got it. Her smile! :’)
 Rasanya sakit sih, menjalani apa yang sebenarnya tak aku inginkan,… tapi rasanya terbayar dengan senyuman beliau.
Pada dasarnya, orangtua hanya ingin anaknya bahagia dan tak terlalu terpuruk selama berjuang dalam hidup. Mereka bercermin pada apa yang terjadi dalam hidup mereka, dan tak ingin hal yang sama menimpa pada anak-anaknya. Sebisa mungkin, mereka ingin memperkecil kemungkinan akan anaknya terluka terlalu banyak dalam menjalani kehidupan yang sangat keras ini. Ingin memberikan pengaman terbaik agar anak-anaknya terselamatkan saat berpijak di kerikil-kerikil tajam.  Hanya itu yang bisa mereka lakukan, selama usia mereka belum berhenti, selama perjalanan waktu mereka masih terus berjalan, selama kedua mata mereka masih bisa memperhatikan pertumbuhan anaknya. Mereka ingin memberikan anaknya kehidupan yang berkualitas, semampu dan sekuat yang mereka bisa. Dan itu hanya karena satu alasan, mereka ingin kebahagiaan untuk anaknya.
Ibu, aku mengerti.. sangat mengerti. Semua ini demi kebaikanku.
Tetapi, Ibu.. ada satu hal yang mungkin engkau, dan para orangtua lainnya lupakan, bahwa sebuah paksaan tak akan bisa menghasilkan kebahagiaan, seberapa kuatpun usaha kita membangunnya.  
Ibu, saat ini aku memang tak mengerti dengan perjalanan hidup yang sedang kujalani. Aku sudah tak lagi menginginkan sebuah impian hidup. Aku bahkan tak pernah membayangkan, dan tak pernah mengharapkan akan menjadi seperti apa aku kelak. Saat ini, keinginanku hanya selalu tentangmu. Tidak ingin membuatmu kecewa, tidak ingin melihat raut kesedihan di wajahmu dalam setiap kegagalanku. Aku sekarang hanya ingin membahagiakanmu. Ini klise. Tapi, aku rasa semua anak di dunia ini menginginkan hal yang sama.
Jadi, Ibu.. izinkan aku membahagiakanmu. Sekarang, kalau aku boleh bertanya, haruskah aku terus melanjutkan skenario perjalanan hidup ini, yang dirancang sesuai dengan keinginanmu, bahkan walau kebahagiaanku sendiri terenggut? Walau aku sudah terlalu lelah menjalaninya? Karena, kebahagianmu prioritasku. Melihat senyummu, favoritku.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya~ :)

 

bOLLywood-giRL.coM © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor