“Permisi, dek… saya mau nanya, rumah sakit Bhayangkari
dimana ya?”
Aku memperhatikan lelaki muda yang sedang mengajakku
berbicara. Kalau melihat dari perawakannya yang mengenakan kemeja cokelat
kotak-kota tanpa dikancing, memperlihatkan kaus dalamnya yang berwarna putih,
dan rambutnya yang diberi gel, sepertinya
ia seorang mahasiswa. Tapi, yeah, aku
bisa saja salah.
“Dek?” tegurnya lagi, mungkin karena aku tak kunjung
menjawab pertanyaannya.
Aku menggigit bibir sejenak, dan batinku mulai berperang.
Baru saja aku akan memutuskan untuk menanggapinya atau tidak, teguran seorang
pria terdengar dari warung makan yang tak begitu jauh dari kami.
“Dek, nggak sopan banget, sih! Kalau orang nanya itu
dijawab. Caria pa, Mas?” serunya.
Lelaki di hadapanku segera tersenyum sumringah setelah tadi
sempat kesal padaku yang hanya diam membatu di hadapannya. Ia bergegas menghampiri warung makan itu, dan
bercakap sebentar, sebelum akhirnya pergi, mungkin karena sudah mendapatkan apa
yang ia butuh.
“Dek,” tegur pria di warung makan itu, lagi. Aku
memberikannya lirikan, tanpa benar-benar berani menatapnya. “Lain kali kalau
ada orang minta bantuan, dijawab, dong. Kalau nggak tahu, kan, tinggal bilang
nggak tahu. Sombong banget jadi cewek.”
Aku menarik napas sejenak, dan menghembuskannya hati-hati.
Terselip perasaan tidak enak hati, tapi…. Bagaimana pun mereka tidak mengerti
betapa sulitnya berada di posisiku.
“..m..mm..ma..maaf…, M..m..mas…” ujarku akhirnya, berusaha
melafalkannya dengan baik, tapi tetap saja tak akan terdengar normal.
“S..sa..ya.. b..bu..k..an..n..ny..a bber..m..mak..s..ss..ud..
s..om..bb..onn..ng..”
Pria itu terdiam ketika aku mulai bersuara. Dan aku tidak
mungkin salah dengar, dari dalam warung makan itu, terdengar banyak orang yang
sedang menahan tawa, mengatupkan bibir rapat-rapat, berusaha tidak
menertawakanku terang-terangan. Tapi, tetap saja aku menyadarinya. Dan itu
menyakitkan.
==
“Nan..” tegur ibu yang mendapatiku terduduk di kursi depan
rumah, baru pulang sekolah dan belu melepaskan sepatu dan tas sekolahku. “Kenapa
melamun?”
Aku sedikit mendongakkan kepala, menatap mata beliau
sebentar, namun kemudian menggeleng pelan.
Sepertinya ibu menangkap kesedihanku di mataku, karena aku
juga bisa menangkap sorot kecemasan di matanya. Namun, beliau selalu menjaga
hatiku dengan sangat baik, sehingga tidak pernah berkata apa-apa, dan juga tak
ingin terlalu banyak bertanya. Ia tahu, kalau aku memang ingin cerita, aku akan
melakukannya nanti dengan sendirinya.
“Ya, sudah.. ayo, ganti baju sekolahnya. Nanti kotor. Ibu
sudah siapkan itu, mie goreng dan telur dadar di atas meja. Di makan ya. Ibu
mau siap-siap dulu.”
Mataku masih mengekori ibuku yang kini sedang sibuk menggelar
beberapa meja kecil di teras rumah. Sebentar lagi, pasti anak-anak yang mengaji
bersama ibu akan datang. Aku segera melepaskan sepatu, kemudian masuk ke dalam
rumah. Aku sengaja melambatkan langkahku. Pikiranku masih penuh dengan
pertanyaan akan hidup ini. Pertanyaan yang selalu sama seperti kemarin, yang
aku rasa tak akan pernah ada jawabannya. Kenapa aku harus berbeda dari manusia
normal? Dulu, nenek dan Ibu selalu mengatakan bahwa berbeda, berarti istimewa.
Tetapi, dimana letak keistimewaanku?
==
Aku mengelap bibir dengan tissue setelah menghabiskan
segelas air putih dalam beberapa kali teguk. Perlahan aku bangkit, dan
melangkah keluar rumah. Aku bisa mendengar suara ibu yang begitu lembut sedang
menerangkan sesuatu pada anak didiknya. Bahasa ibu yang begitu santun, lembut,
keibuan.. sangat terdengar menyenangkan. Aku bersandar di pinggir pintu dengan
gerakan hati-hati agar tidak menimbulkan keributan, memperhatikan beberapa anak
mungil itu yang terlihat cukup antusias memperhatikan ibu.
“… jangan sesekali menghina makhluk hidup yang lain. Kita
semua sama. Tak berbeda. Kita sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Semua orang terlahir dengan tidak sempurna,
dengan kelebihan dan kekurangannya. Itu rezeki kita masing-masing. Yang pasti,
Tuhan telah menciptakan makhluknya dengan sebaik-baiknya, dan tak ada
ciptaannya yang tidak berguna. Apa yang dihasilkan dari tangan Tuhan, selalu
istimewa..”
Tubuhku sedikit tergerak saat mendengar kata-kata ibu, dan
tanpa sadar menimbulkan derit pintu.
“Loh, Nani?” Ibu sempat agak terkejut saat menolehkan
kepalanya ke arahku, namun kemudian tersenyum lembut. Senyuman khas-nya yang
sangat aku suka. “Sini,” ibu melambaikan tangan agar aku duduk mendekat di
sebelahnya. “Mau nemanin ibu ngajar adek-adek ini?”
Aku tercenung sebentar menatap anak-anak itu. Seorang anak
laki-laki , yang mungkin berusia 6-7 tahun, segera mendekat ke arahku sambil
tersenyum lebar memperlihatkan satu giginya yang ompong. Aku lantas tertawa,
kemudian mengangguk padanya untuk memulai mengaji.
Ibu, terima kasih karena sekali lagi mengingatkanku. Semua
manusia tak ada yang sempurna. Tetapi, satu hal yang pasti, semua yang terlahir
di dunia ini bukanlah sesuatu yang tak akan bisa berguna.
0 komentar:
Posting Komentar