“Lama-lama pusing gue sama
Widya. Kayaknya apa yang gue lakuin juga pasti selalu salah di mata dia, gak ada yang bener.”
Adi mulai terlihat mengeluhkan
sikap pacarnya lagi, dan sepertinya ini menjadi lebih sering dari biasanya
belakangan ini. Apakah memang semua lelaki dan perempuan yang berpacaran akan
mengalami hal seperti ini, selalu ribut dan bertengkar mengenal hal-hal yang
sebenarnya bukan masalah besar? Entah lah. Aku tak tau, karena aku tak pernah
merasakannya. Bagaimana bisa? aku saja tak pernah pacaran. Aku tak pernah paham
dengan konsep pacaran. Selain itu... karena orang yang kucintai sudah memiliki
kekasih, jadi yang bisa kulakukan hanyalah duduk diam di hadapannya,
menemaninya dan mendengarkan segala keluh kesahnya. Ya, yang aku lakukan
sekarang ini.
“Dia selalu aja maunya
dingertiin sama gue, tapi dia sendiri gak pernah mau ngertiin gue. Kayaknya
nggak pernah nganggap gue sebagai pacar sama sekali. Gue dianggap supirnya
doang kali ya? Kayak diinjek-injek, tau nggak.” Adi melanjutkan keluhannya, dan
aku tetap dalam diam sambil memusatkan mata pada mimik wajahnya yang semakin nampak
sangat kesal.
“Emangnya sekarang elo berdua
ribut karena apa?” tanyaku akhirnya, sambil menyeruput habis sisa Cappucino
dalam gelas.
“Cuma gara-gara gue nggak bisa
jalan sama dia kemarin. Padahal kan nggak sering-sering juga gue ingkar janji.
Kebetulan aja kemarin gue sudah terlanjur janji sama Hery cs buat main futsal
bareng, ya kan gak mungkin gue batalin gitu aja.”
“Trus?”
“Ya udah, trus apalagi, dia
ngamuk-ngamuk, bilang gue lebih mentingin futsal lah daripada dia, ngatain gue
cowok cemen gak bisa pegang janji, malah nuduh gue macam-macam segala, bilang
gue ada main sama cewek di tempat futsal. Gimana gue nggak jengkel? Lama-lama
gue selingkuh beneran aja kalo gini! Daripada dituduh gak jelas, padahal gue
nggak ngelakuin, kan mending gue selingkuh beneran!”
“Sampe segitunya?” Aku
mengernyitkan kening. “Widya emangnya seposesif itu sama lo?”
“Tauk tuh, belakangan makin
menjadi-jadi aja tingkahnya. Kayak mau ngekang gue banget.”
Aku tersenyum kecut agak samar,
hingga mungkin Adi tak menyadarinya sama sekali. Dari awal saat Adi
memperkenalkan Widya padaku sebagai kekasih barunya, aku sudah bisa menebak
tipe gadis seperti apa dia. Dan aku sudah merasa yakin seratus persen, Widya
tak akan cocok berhubungan dengan Adi. Karakter mereka sangat bertolak
belakang. Adi adalah tipe lelaki yang butuh diperhatikan, ditemani,
diperlakukan dengan lembut, tak bisa dengan cara keras. Sebaliknya, Widya
adalah tipe perempuan yang selalu bersikap frontal, keras kepala, manja, dan
mudah emosi. Kalau dipaksakan untuk cocok pun juga tak akan bisa. Terkadang aku
sendiri tak rela setiap melihat bagaimana perlakuan Widya pada lelaki yang
kucintai ini. Kenapa dunia memang selalu tak adil? Tak bisakah dunia
berkonspirasi menjodohkanku dan Adi? Aku bisa selalu menjaga dan mencintainya
dengan sangat baik, jauh melebihi gadis manapun yang ada di sekeliling kami.
“Ya elo juga, kok bisa pacaran
sama yang modelnya begitu? Makanya, pilih-pilih dulu, jangan asal ngegaet.”
“Sial lo,” Adi mendengus geli
mendengar perkataanku yang padahal sangat serius. “Ya mana gue tahu kan kalau
dia begitu banget. Gue awalnya kepincut sama kecantikannya. Lagipula waktu
pertama kali, keliatannya dia tuh dewasa. Mana gue sangka kalau ternyata sama
aja kayak cewek lain, cemburuan, manja, posesif..hh... malesin, lah. Heran gue,
kayaknya semua cewek tuh sama aja ya.”
Aku hanya tersenyum simpul
dengan menarik ujung bibirku ke atas, kemudian sambil lalu memainkan ponsel. “Ya
putusin aja, trus pacaran sama gue.”
Huaaaaaa! Aku terkejut sendiri mendengar
sederet kalimat yang baru saja meluncur lancar dari mulutku. Berani juga aku
mengatakan hal itu! Walau perkataan itu sengaja kukatakan dengan lagak sambil
lalu, tapi tetap saja jantungku nyaris terasa akan jatuh melorot. Aku tak
berani melihat wajah Adi, tapi aku juga penasaran, jadi aku sedikit mengangkat
kepala hendak menatapnya, dan yang kudapatkan seketika adalah jitakan keras
dari kepalan tinjunya.
“Bangke lo!!” Tawa Adi seketika
meledak setelahnya. “Gue masih normal kali! Sarap lo, ah, Dim!” Ia masih
tertawa ngakak, dan menatapku geli. “Dunia kiamat dan cewek di dunia ini sudah
punah sekalipun juga gue bakal tetap ogah! Amit-amit!”
Aku hanya mendengus,
mengelus-elus kepalaku yang terasa ngilu, dan ikut tertawa bersamanya. Yah, aku
memang sudah tahu jawaban seperti itu yang akan ia berikan. Ia menganggap
perkataanku tadi hanyalah sebuah lelucon antar sahabat, dan sampai kapan pun
akan seperti itu. Biarlah Cuma aku dan Tuhan yang tahu bahwa perasaan sayang
dan cintaku padanya adalah sebuah kebenaran yang pasti sulit diterima dalam
dunia yang tak adil ini.
“Woii, Adi!! Dimas!!” seruan
melengking seorang perempuan mengejutkan kami, membuat aku dan Adi serentak
menoleh bersamaan ke arah samping kantin sekolah. Novi, salah satu teman
sekelas kami terlihat memandang jutek dari kejauhan. Wajah gadis itu semakin
memberengut saat menyadari kami tak juga kunjung bangkit dari bangku
kantin. “Sudah bel masuk tuh, woy! Gak
dengar apa?? Budek kali ya!??”
“Wah, iya!” Adi yang sadar
duluan, langsung berdiri dan melompati bangku begitu saja. “Ah, gara-gara lo,
Dim! Mana gue belum selesai ngerjain PR! Mampus gue. Masih sempet nyontek
nggak, nih??” Aku tak terlalu menggubris apa yang Adi serukan selanjutnya,
karena aku sendiri sudah berlari cepat menuju kelas. Aku juga belum
menyelesakan PR Fisika. Gawat!
=========================================================================
Note: Aku baru tahu tentang gerakan membuat cerpen ini jam 9 malam tadi ^^;, Begitu selesai baca aturannya, aku langsung bertanya pada beberapa temanku, dan dua orang memberikan jawaban. Yang satu meminta tema cerita tentang Forbidden Love yang mengisahkan cinta sesama jenis, yang satu meminta cerita tentang dua orang yang saling menyukai tapi tak menyadari. Aku memilih yang Forbidden Love,...karena... tak ada alasan, sih ^^; Karena sesungguhnya aku sampai detik ini tak tau harus menulis cerpen apa karena waktunya sangat mepet. Dan aku tak pernah nulis cerita tentang Forbidden Love, karena itu bukan gayaku banget. Kalau disuruh milih, sebenarnya aku memilih tema yang satunya, karena itu lah yang aku banget. Tapi, tak tau kenapa otakku terasa buntu, aku tak bisa memikirkan alur ceritanya sama sekali. Selain karena waktu sangat mepet, aku juga sudah mengantuk.. hehe. Yang terpikirkan di otakku hanya lah... ya cerita ini ^^;
0 komentar:
Posting Komentar