Jumat, 15 Mei 2009

Cerpen HSP

Diposting oleh Eka Suzanna di 04.45
High School Paradise

Matahari bersinar cerah dan angin bertiup semilir ketika Lando mematikan rokok. Sid menatapnya polos dan Rama hanya terkekeh.
“Sial. Setengah delapan nih,” kata Cokie yang sejak tadi berbaring di atas rumput. Dia lantas bangkit dan membersihkan diri dari rumput kering. Satu alisnya naik menatap ketiga temannya yang tampaknya tak ada yang bereaksi. “Jadi? Kita sekolah?”
Sid mengerang aneh. Dengan gerakan malas, dia bangkit dan menyambar ranselnya. Rama dan Lando segera mengikuti. Mereka berjalan santai menuju sekolah.
***
Sid, Lando, Cokie, dan Rama masuk ke dalam sekolah. Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari mikrofon, membuat mereka terbengong-bengong di tengah lapangan upacara.
“TETAP DI TEMPAT!!” seru suara itu
Gara-gara teriakan dahsyat itu, semua orang yang tadinya lagi belajar di kelas langsung melongokan kepala ke mereka.
“Huh! Ternyata siguru sableng itu lagi!” dengus Sid. “Ganggu ketenangan orang aja. Dasar Godzila!”
“Pak Godzali, Sid,” ralat Rama sambil nahan senyum.
Acara penyetrapan keempat anak itu, Rama, Lando, Sid, dan Cokie, memang sudah menjadi tradisi di Athens setiap pagi.
“Kalian!!” seru Pak Godzali menghampiri mereka dengan murka. “Berbaris!!”
Mereka berempat langsung berbaris.
“Terlambat lagi,” kata Godzali. “Memangnya kapan sih kalian tidak datang terlambat sekali saja?”
“Wah, nggak tau ya. Pas kiamat mungkin?” kata Sid cuek.
“Kenapa sih kalian terlambat?” tanya Godzali menahan geram.
“Main bola,” sahut Lando santai.
“Jadi, kalian terlambat hanya karena main bola??” sahut Godzali marah.
“Ya. Makanya, coba Bapak mengizinkan kami membentuk ekskul bola, kami pasti nggak akan terlambat lagi,” tambah Cokie.
Pak Godzali makin geram. “Dasar anak-anak bodoh!”
“Kami pintar, Pak,” ralat Cokie. “Jelasin, Fren! Peringkat satu??”
Karena Lando cuma diam, Sid yang menyahut sambil menunjuk Lando dengan angkuh. “Arlando Santiago!”
“Peringkat dua??” tanya Cokie lagi.
“Rama Ardiansyah,” jawab Rama kalem.
“Peringkat tiga, perkenalkan,” Cokie menepuk dadanya. “Cokie. Dan peringkat empat?”
Sid langsung pasang aksi dengan gayanya. “Sid.”
Pak Godzali menghela napas. “Oke…oke… daripada kita berdebat terus kayak gini, mending kita buat kesepakatan,” katanya sambil menatap empat anak itu dengan tajam. “Kalian tau kan ekskul teater? Ekskul yang sudah nggak pernah eksis itu? Bapak ada buat perjanjian dengan mereka. Kalo mereka bisa mempersembahkan penampilan terbaik pada acara perpisahan anak kelas 3 nanti, ekskul mereka tidak akan dibubarkan. Tapi kalo mereka gagal, maka sebaliknya.”
Keempat anak itu bengong. “Trus apa hubungannya sama kami?”
“Bapak mau kalian menggagalkan mereka. Kalo kalian berhasil, maka Bapak akan membuka ekskul bola. Tapi kalau nggak berhasil, maka sebaliknya juga.”
“Hah? Bapak jahat banget,” protes Rama. “Kasihan mereka dong. Kenapa Bapak pengen mereka bubar?”
“Karena mereka tuh kerjanya cuma bersantai-santai. Uang eksul mereka yang dari dana sekolah malah dibuat acara party-party. Mereka bukannya membawa nama sekolah, malah merugikan sekolah,” gerutu Pak Godzali.
Keempat anak itu mikir sejenak.
“Tapi, kasihan mereka, Pak,” kata Rama setengah hati. Dia memang ingin ada ekskul bola, tapi dia juga tidak mau berbuat curang sama ekskul lain yang tidak tahu apa-apa.
“Ah, udalah, Ram,” kata Sid semangat. “Nggak usah pake acara kasihan segala. Ini kan demi bola gitu, loh, hidup kita. Ngapain mikirin orang lain apalagi yang nggak kita kenal.” Sid beralih ke Pak Godzali. “Oke, kami setuju, Pak.”
Pak Godzali manggut-manggut. “Oke, kita deal. Tapi jangan kira kalian bebas hukuman ya. Sekarang, berbaris dan rentangkan tangan. Selama dua jam.”
Keempat anak itu cemberut. “Memangnya kita mau SKJ apa?”
“PAK!!!!” seru seorang gadis yang sedang berlari-lari ke arah mereka sambil membawa ransel. Empat anak laki-laki itu menatapnya heran.
“PAK! DENGAR DULU PENJELASAN SAYA, PAK!” seru gadis itu saat Pak Godzali siap memarahinya. “Saya punya alasan bagus, Pak. Sumpah, bagus banget.”
“Apa itu?” tanya Pak Godzali akhirnya.
“Begini, Pak. Tadi pas saya ke sekolah, saya tepat waktu, Pak! Saya perginya pukul enam! Tapi, taksi yang saya naiki tiba-tiba nabrak ibu-ibu! Terus sopirnya kabur dan taksinya ditinggal. Jadi, saya cari taksi lain. Eh, taksinya malah bocor bannya. Sumpah, Pak. Saya tuh kesel banget. Terus, pas saya lari ke sini, tau-tau ada nenek-nenek yang nggak bisa nyebrang. Jadi, saya seberangin dulu! Pokoknya kacau deh, pak! Bapak harus percaya!” serunya gadis itu heboh.
Keempat anak laki-laki itu menatap si gadis dengan tatapan tak percaya. Sementara Pak Godzali menatapnya galak-galak. Ditatap seperti itu, akhirnya si gadis nyerah.
“Oke, oke, Pak, saya jujur, saya telat bangun. Tapi Pak, boleh saya masuk ya? Saya mau ulangan Kimia,” pinta gadis itu memelas.
“Kamu tetap di sini bersama empat anak laki-laki itu selama dua jam,” kata Pak Godzali tegas. “Namamu Julia, kan? Sekarang, ucapkan HAI pada teman-teman baru seperjuanganmu.”
Julia menatap keempat laki-laki di hadapannya dengan lesu. “Hai.”
Lalu, Pak Godzali pergi.
“Huh, sia-sia gue ngarang alesan segitu indahnya,” gerutu Julia membuat Cokie dan Rama tersenyum geli.
“Lagian bikin alesan nggak logis banget sih. Siapapun juga gak bakal percaya, alesan anak TK gitu,” ledek Sid.
“Apa?” protes Julia. “Kenapa ngatain gue anak TK??” Lalu matanya menatap tubuh Sid dengan tatapan meneliti. “Elo nggak ngaca apa? Yang pantes disebut anak TK tuh elo, secara badan elo kecil banget,” bales Julia.
Sid memang paling pendek di antara temannya yang lain. Makanya dia paling anti dengar kata ‘Kecil, pendek, imut, anak TK, dll’.
“Eh, lo nggak usah mulai ya,” kata Sid tajam. Dia menatap Julia dengan bengis. Julia juga nggak mau kalah membalas tatapan bengis itu.
“Eh, sudah oi….” lerai Rama dengan cara berdiri di antara keduanya. Tapi dua orang itu masih saling menatap dengan bengisnya.
Cokie membuka dua kancing kemejanya yang teratas lalu menggoyangkan kerahnya berkali-kali seperti orang kepanasan. “Wah, kayaknya aura di sini mulai panas nih. Padahal masih pagi,” katanya tanpa maksud membuat Sid jadi menatapnya galak.
“Udah…” seru Rama lagi. “Elo juga, Sid. Uda deh. Kayak anak kecil aja lo. Ini cewek, Sid. Ngalah dikit, kenapa?”
Sid langsung pasang ekspresi mau muntah. “Cewek? Dia? Dia tuh bukan cewek, nenek lampir sih iya.”
Rama langsung menenangkan Julia yang mau menerjang Sid. “Udah, Jul. Biarin aja dia. Oh iya, kalo menurut gue alasan elo bagus kok sampe yang bagian lo nolong nenek-nenek,” kata Rama sambil garuk kepala. “Bagian itu emang…agak….nggak logis…Tapi dikit aja kok,” katanya lagi dengan ramah. “Gak usah dengerin kata Sid.”
Mau tidak mau Julia pun tersenyum ke Rama. Dia baru menyadari sesuatu. “Kalian nih bukannya empat anak terpintar yang sering dibicarakan itu ya? Yang dijulukin F4 itu kan?” tanya Julia ke Rama. “Wah, gue baru ngeh.”
“Iya,” kata Sid galak. “Makanya elo pergi aja deh dari sini. Ini nih kumpulan anak-anak jenius. Elo nggak masuk hitungan.”
“Maksud lo gue bego gitu??” teriak Julia marah. Rama langsung pasang aksi jadi perisai lagi di antara mereka. “Udah, ah. Nggak betah gue lama-lama di sini,” seru Julia mulai muak. “Nggak nyangka gue anggota F4 yang terkenal itu ternyata cuma terdiri dari anak-anak kayak kalian, apalagi elo!” Matanya melotot ke Sid. Lalu dengan satu tangan Julia mendorong Rama dari hadapannya dan mengambil langkah cepat meninggalkan neraka yang sempat bikin dia panas.
***
Sementara itu di ruangan teater dengan santainya empat anak teater, Aida sang ketuanya, Hera sang sekretaris, Eva sang bendahara, dan Sisy sang perlengkapan, duduk-duduk sambil bergosip mengenai apa saja. bahkan setelah itu Eva menyetel musik dengan keras lalu berjingkrak-jingkrak dengan hebohnya bersama Sisy. Aida dan Hera lebih memilih ngemil sambil membaca-baca majalah.
“Gawat!! Gawat!!!” seru Julia panik ketika masuk ruangan teater. Hal itu mengganggu ketenangan mereka. Eva segera mematikan musik.
“Aduh…ada apa sih, Jul!!?” tanya Aida dengan muka galak. “Elo tuh bikin kaget aja, dateng-dateng langsung bikin ribut!”
“Berisik ah,” kata Julia acuh lalu dia segera berdiri di depan semua teman-temannya. “Eh, tadi gue dikasih tahu sama Pak Godzali! Katanya perpisahan anak kelas tiga dimajuin, empat hari lagi! Kalian semua sinting ya, masih aja nyante gini! Kita tuh belum buat naskah, belum latihan dan sebagainya,” omel Julia panjang kali lebar.
Eva buru-buru mengambil sebotol aqua dingin dan memberikannya ke Julia. “Hush, minum dulu. Tenang-tenang dulu, baru ngomong.”
Dengan cepat Julai meneguk setengah botol aqua. Hari yang panas ini, belum lagi habis disetrap tadi membuatnya lelah. Tambah lagi masalah teater yang belum beres.
“Sante, Jul,” Aida mengambil sesuatu di dalam laci. “Nih, gue sudah nulis naskah untuk kita pentaskan. Judulnya ‘High School Paradise’.” Aida membaca naskah, “Ceritanya tentang berbagai tingkah lagu siswa-siswi SMA. Ceritanya nih ya, ada empat cowok yang bermusuhan dengan empat cewek. Mereka selalu bertengkar. Tapi pada akhirnya mereka semua bersahabat. Gitu. Bagaimana? Keran nggak?” tanya Aida meminta pendapat teman-temannya.
Julia terbengong-bengong mendengar sinopsis naskah itu.
“Bagus,” gumam Eva setelah mikir. “Setidaknya ceritanya nggak terlalu ribet. Cukuplah untuk latihan empat hari aja.”
Sisi mengangguk dan Hera ikut-ikutan.
“Woy!!” Dengan sadis Julia teriak di depan hidung mereka semua. “Mikir, buu…mikir!! empat cowok?? Anggota kita cuma cewek. Siapa yang mau meranin tokoh cowoknya? Kalau pun yang meranin kita, emang cukup?? Kita cuma lima anggota. Di naskah ada delapan tokoh!”
Sisy mulai jengkel dengan kepanikan Julia. “Jul, elo tuh terlalu panik tau gak? Makanya nggak bisa mikir. Kita kan bisa ambil empat anak cowok, siapa kek. Banyak.”
“Oh…gue tau!” seru Eva tiba-tiba. “Gimana kalo F4??”
Isi perut Julia langsung mau keluar dengarnya.
“Mereka kan terkenal tuh. Cakep-cakep lagi,” tambah Eva. “Kalo mereka yang main pasti drama kita jadi bagus.”
“WHAT!!? Mereka?? Ogah!!” tolak Julia segera. Dia masih eneg dengan empat cowok itu, terutama SID.
“Hah? Kenapa emangnya, Jul??” tanya Aida heran dan menyelidik. “Elo ada masalah sama mereka??”
“Bukan masalah lagi, tapi memang BERMASALAH! Pokoknya kalau sampai empat cowok itu main sama kita, mending gue nggak ikut!” ancam Julia tanpa tedeng aling-aling.
“Jangan gitu dong, Jul,” kata Sisy mulai kesal. “Elo kayak anak kecil deh. Memangnya kenapa juga kalo mereka ikut main??”
“Masalahnya ada si kecil dekil itu, goblok!”
“Hah?” Aida melongo. “Si kecil dekil? Sapa tuh?”
“Ihhhh…” Julia mulai gregetan. “Itu loh, anggota F4 yang paling kecil, paling item, paling pendek!”
Empat temannya langsung menangkap sosok itu. Sid. Siapa yang nggak tahu kalau Sid adalah anggota F4 yang paling kecil? Semuanya tahu.
Dengan pandangan menyelidik dan setengah jail, Aida berkata, “Sejak kapan lo dekat sama Sid?? Cieee…cieeee….cuit-cuit!!”
Aida, Hera, Eva, dan Sisy langsung berhamburan kemana-mana saat Julia melemparkan berbagai barang yang ada ke mereka. Terakhir, Eva berhasil menangkap kaos kaki Julia setelah akhirnya bermuntah ria di toilet.
***
“Jadi, menurut kalian gimana?” tanya Cokie saat dia dengan Sid, Lando, dan Rama berada di kantin sekolah.
“Apa?” tanya Rama sambil melahap sepotong Pizza.
“Itu loh, tugas yang diberikan sama si Godzila tadi pagi,” kata Cokie lagi membuat Sid menjentikan jari dengan hebohnya. Lando sampai mendelik galak karena kaget.
“Gue tau! Kita harus masuk ekskul teater dan berbaur dengan mereka. Kita bergerak dengan slow… Kalau kita masuk ekskul teater pasti kita dapat mudah menggagalkan penampilan mereka.”
“Teater? Wadduh… nggak merepotkan tuh? Lagian kita nggak terlalu jahat nih??” tanya Rama ragu. Dia masih bimbang.
“Ram, kali ini gue setuju sama Sid,” kata Lando angkat bicara. “Mereka kan rival utama kita. Ngapain kita peduli mereka kasihan atau nggak?”
“Iya, Ram. Demi BOLA!” tambah Cokie semangat.
“Ayolah, Ram…masa elo tega sama kami yang sudah semangat gini?? Ayolah, setuju. Ya ya yaa?” bujuk Sid.
“Oke, oke,” kata Rama sambil mengangkat tangannya, menyerah. “Gue setuju.”
Mendadak mata Lando melebar. Dia melihat lima cewek menghampiri meja mereka dengan tampang ‘DARURAT’. Sid, Cokie, dan Rama yang baru ngeh dengan kedatangan lima cewek itu langsung melongo.
Aida, Eva, Hera, dan Sisy berdiri mengitari. Karena Julia malas mencampuri urusan yang sebenarnya dia nggak setuju, maka dia lebih memilih duduk di sebelah Lando yang bangkunya kosong. Mata Sid melebar.
“Masih berani lo duduk semeja sama gue?” sahutnya.
“Emangnya kenapa?” tanya Julia jutek.
“Wow…wow…wow!” seru Rama heboh dikelilingi cewek-cewek. “Ada apa nih pada rame-rame kemari?”
“Gini…” Aida berdehem. ‘Kami berlima nih dari ekskul teater.”
Cokie dan Sid membelalak hebat. “TEATER!!??” Mereka kaget karena topik yang baru mereka sebut-sebut langsung muncul di depan mata.
Aida, Eva, Hera, dan Sisy langsung melongo nggak ngerti.
“Te…te…ater?” ulang Sid lagi.
“Dasar gagu,” kata Julia membuat tawa Rama meledak dan Lando terkekeh. Sid langsung menatap Julia dengan tatapan membunuh.
Untuk mencairkan ketegangan, Aida berkata lagi, “Gue sebagai ketua teater Athens mau rekrut kalian jadi pemain kami. Di naskah kami ada empat pemain cowok dan itu pas banget sama kalian. Jadi, gimana? Kalian mau nggak main di drama kami? Kita bakal mentas empat hari lagi di acara perpisahan anak kelas tiga.”
“Wah, setuju banget,” seru Cokie tanpa aba-aba lagi. “Ya kan, Fren?” Cokie minta dukungan teman-temannya. Rama yang memang awalnya nggak terlalu niat hanya mengangguk pasrah. Lando mengangguk-angguk. Dan Sid diam.
“Woy, elo kenapa?” tanya Cokie heran. “Elo setuju kan?”
“Nggak.” Kata-kata Sid membuat Cokie, Lando, dan Rama melongo heran. Perasaan mereka tadi yang paling semangat Sid. Kenapa sekarang malah dia yang membantah?
“Tau ada nih nenek lampir, ogah gue masuk teater,” tambahnya.
Julia langsung menggebrak meja dengan kasar. “Eh! Lo kira gue setuju rekrut elo jadi pemain?? Asal lo tau ya gue juga nggak bakal mau, walaupun elo satu-satunya cowok yang tersisa di dunia ini! Dengar tuh!”
Sis menahan geram saat menatap wajah Julia yang memasang wajah angkuh.
“Aduh, elo jangan bikin masalah baru dong, Sid. Elo jangan malah tambah merepotkan. Tinggal bilang setuju apa susahnya sih?” protes cokie karena Sid pindah haluan. Karena Sid nggak berkomentar apa-apa, Cokie beralih ke Aida. “Udah, peduli setan dengan mereka berdua. Pokoknya apapun yang terjadi kami deal!! Demi bo..” Cokie langsung mingkem sebelum keceplosan kata bola.
“Bo…?” Aida mengernyit dengarnya. “Bo..apa?”
“Bo, di kartun Shincan?” tanya Sisy asal.
Cokie buru-buru menggeleng. Lando, Sid, dan Rama melemparkan tatapan tajam ke Cokie. “Hm, bo…demi bokap gue!” ralat Cokie segera. “Bokap gue cinta sama seni teater. Jadi gue ngelakuin ini demi dia.”
***

“Romeo, di manakah kau berada? Aduuh, mual gue,” kata Julia membuat Sid mendelik. Saat itu mereka sedang berlatih membaca naskah di ruangan teater. “Kenapa sih naskahnya ganti jadi drama Romeo dan Juliet?” keluh Julia. “Bagus naskah yang pertama.”
Aida angkat bahu. “Ya, gak tau ya. waktu liat elo dan Sid, gue jadi kepikiran sama drama ini. Cocok aja gitu buat kalian.” Sukses membuat Julia dan Sid tambah mual.
“Aduh, kayaknya gue mau ngapalin di rumah aja deh, gue udah nggak sanggup,” kata Sid sambil bangkit. Setelah Sid pergi, mereka membicarakan kostum.
“Oh iya, kita kebagian tampil sore ya, sebelum pestanya,” kata Aida mengingatkan.
“O ya?” tanya Julia yang baru tahu.
“He-eh. Gue baru dikasih tau Edi. Oh iya, gue udah siapin semua kostumnya, lho,” kata Aida membuat Julia mulai mual lagi.
“Wah, gue nggak sabar liat Sid menyatakan cintanya pada sang Juliet,” kata Lando tiba-tiba membuat semua orang tertawa.
Julia menatapnya sebal.
***
pkl. 06.00
Rama berjalan gontai ke kelasnya. Pagi ini sekolah masih sepi. Cuma ada satu-dua-tiga anak saja yang berkeliaran. Begitu duduk di bangkunya, dia langsung mengeluarkan buku tulis Fisikanya. Pelajaran pertama nanti ulangan Fisika, belum lagi pelajaran berikutnya ada ulangan Matematika. Hufh, Rama bersyukur dia diberi anugrah otak berpantium tinggi.
Pintu kelas diketuk. Rama berdecak dan mendongakkan kepalanya ke pintu kelas. Tampak wajah Eva di sana.
Rama menatap Eva tak percaya, sementara Eva tersenyum santai.
“Hai,” kata Eva setelah beberapa saat. Rama masih membeku sampai akhirnya mengangguk kaku.
“Ada..apa?” tanya Rama kemudian. “Tumben ke kelas sini.” Eva tampak salah tingkah, lalu mengeluarkan sebuah buku dari tasnya dan menyerahkan pada Rama yang bingung.
“Buku Matematika lo ketinggalan kemarin di ruangan teater,” kata Eva. “Nanti kan kalian ulangan, gue takut lo nggak bisa belajar.”
“Oh,” Rama mengambil bukunya. “Makasih. Tapi lo nggak perlu repot-repot gini, dong. Gue jadi ngerepotin.”
“Ah, nggak apa-apa. Gue juga nggak ada kesibukan. Oh ya, tumben nggak telat.”
Rama tertawa. “Kami berempat punya misi baru,” katanya dan menyambung dalam hati misi menaklukan elo dan kawan-kawan elo. “Jadi untuk misi telat, kami pending dulu.”
Eva manggut-manggut. Lalu mereka berdua terdiam, membuat Eva gugup. Dia mengetuk-ngetukkan hpnya ke atas meja untuk menyamarkan kegugupannya.
“Lho!!??” seru Cokie yang baru datang. Dia kaget mendapati ada Eva dan Rama sedang bercakap-cakap berdua di kelas. Rama dan Eva juga ikutan kaget dengan kedatangan Cokie. Belum lagi ditambah kedatangan Sid, nggak alama kemudian. Sid yang dari awal sudah benci sama kelompok teater karena mereka temannya Julia, langsung membentak.
“Heh!? Ngapain lo di sini??” tanyanya sengit.
“Ah…” Eva tiba-tiba gugup. Rama sendiri jadi cengok, bingung mau jelasin apa ke Sid. “Tadi gue cuma mau antar buku Rama. Hm, uda ya. Bye..” Buru-buru Eva pergi, takut dimakan Sid.
“Elo tega bener sama cewek, Sid,” protes Rama nggak suka Sid membentak cewek.
“Gak urus,” balas Sid cuek. “Elo sendiri ngapain baek-baekin dia? Uda tau juga dia tuh musuh kita.”
“Hm,” Rama garuk-garuk kepala. “Musuh sih musuh. Tapi kan nggak perlu sampe begitu lah.”
Cokie langsung ambil alih bicara, “Betul juga kata Sid, Ram. Elo jangan kemakan cinta, dong.”
Rama terperangah sesaat lalu niat membantah, “Eh, sapa juga ya..”
“Elo harus inget sama misi awal kita,” potong Cokie.
Tepat saat itu Eva kembali masuk ke kelas mereka untuk mengambil hp yang lupa dia bawa karena gugup menghadapi Sid tadi.
“Iya, tapi gue nggak cinta sama dia,” bantah Rama. “Ngawur aja elo semua.”
“Bukan nuduh elo gitu. Gue cuma ingetin, elo jangan baekin mereka termasuk Eva. Kita kan masuk teater untuk menggagalkan rencana mereka supaya mereka nggak nampil pas perpisahan nanti. Jadi kita menang dari si Godzila itu dan dapat lapangan sepak bola.”
“Betul,” sahut Sid setuju. Rama hanya bisa terpekur diserang dua orang bersamaan.
“APA!!??” jerit Eva murka. “Ohhh….jadi dari awal niat kalian begitu?? Baguss..ya!!”
Ketiga cowok itu langsung menatap Eva panik.
“Kami merekrut kalian dengan niat baik, eh kalian malah busuk semua!” bentak Eva. “Gue nggak nyangka kalian sebusuk itu!” Eva memngambil hpnya cepat dan berbalik ke pintu. Dua langkah kemudian dia berhenti dan berbalik lagi. “Elo juga, Ram! Awalnya gue kira elo tuh baik! Nggak taunya elo tuh brengsek!!” Lalu Eva bener-bener pergi dari kelas itu dengan raut murka.
Rama ingin mengejar Eva tapi ditahan sama Sid dan Cokie.
Lando yang berpapasan dengan Eva, masuk ke kelas dengan muka heran. “Ada apa?”
Rama menatap Lando minta pertolongan.
***
Empat anggota teater lainnya menjadi murka mendengar penuturan Eva, terutama Julia. Mukanya sudah seperti api setan yang membara.
“Lo liat kan semua?? Makanya gue bilang, jangan bawa-bawa mereka ke dalam rencana kita!” seru Julia kesal. “Kalian sih, bebal semua!”
Sisy, Aida, dan Hera terdiam. Eva melamun.
“Eva…” terdengar suara Rama membuat Eva tersentak, kaget. Eva tidak menyahut, hanya menatapnya datar. Ketika Rama mau mendekati Eva, seluruh pasukan teater tanpa diperintah berdiri berjejer melindungi Eva.
“Gue cuma mau minta maaf,” kata Rama kepada pasukan teater yang berdiri dengan gagahnya. “Gue mewakilin teman-teman gue ingin minta maaf pada kalian. Tadi kami sudah rapat dan kami sudah sepakat untuk damai.”
“Kami? Gue aja tadi nggak ikut sepakat,” dumel Sid di belakang Rama. Julia menatapnya sengit.
“Gue bakal maafin kalian kalo kalian semua sepakat untuk damai,” tantang Aida.
Cokie, Lando, dan Rama menatap Sid memohon. Tapi Sid tetap ogah.
“Ayolah, Sid…demi persahabatan,” bujuk Rama.
“Persahabatan apa??” tanya Sid jengkel. “Kalian aja pada jadi penghianat. Kenapa kalian jadi mau damai sama mereka?? Cuma gara-gara elo cinta sama dia, Ram??” tanya Sid sambil menunjuk Eva. Diam-diam Eva jadi tersipu malu dan rama salah-tingkah.
“Gue nggak bakal mau damai! Apalagi ditambah ada sinenek lampir, tuh,” tunjuk Sid ke Julia.
“Eh, kuntil! Elo kira gue mau damai sama elo?? Seribu turunan gue juga ogah!” bales Julia nggak mau kalah.
“Ayolah baikan…” bujuk Rama. Tapi Sid tetap ogah, membuat Rama mengancamnya. “Sid, kalo lo nggak mau damai, gue bakal kasih liat ke mereka semua isi SMS-SMS elo.” Rama langsung membuka hpnya dan membaca salah satu SMS dari Sid. “Ram, bukannya gue benci sama Julia, tapi dia tuh suka judes dan sok nyuekin gue, jadi gue sengaja lah cari-cari masalah sama dia biar dia peduli sama gu..”
“WOOO…Wooo…WOOO!!” teriak Sid asal-asalan untuk menyamarkan suara Rama yang nyaring. Rama senyum-senyum geli melihat tingkah Sid.
Meskipun begitu Julia sudah paham sama isi SMS itu dan itu membuat pipinya bersemu merah.
“Oh iya,” kata Aida. “Elo juga, jul. Kalau elo nggak mau damai, gue..” Aida mengambil buku diary Julia yang ada di laci. “bakal baca isi yang ada di halaman 100. Tuh, saking isinya asyik banget gue sampe inget halamannya. Isinya, waah….senangnya gue bisa masuk SMA Athens. Trus tadi gue ketemu cowok cakep, imut lagi. Setelah gue cari tau, namanya Sid. Gue jadi makin semangat sekolah soalnya bisa ketemu sama di…”
“AIDA!!!” jerit Julia lantas mau merampas bukunya. Tapi Aida lebih gesit lagi dan membaca halaman 123.
“Sial, tadi gue telat. Eh, nggak sial-sial amat sih soalnya gue bisa ketemu sama Sid. Saking gugupnya gue malah jadi maki-maki dia. aduh, bodohnya gu..”
“AIDA!!!” kali ini Julia berhasil merampas bukunya. “Sialan lo.”
Aida cuma menahan tawa. Begitu juga dengan Cokie, Rama, dan Lando. “Ohhhh..ternyata…” ledek mereka.
“Adduh, kalian nih,” seru Sisy dengan nada menggoda. “Pura-pura saling benci…nggak taunya…” Dia lalu menarik tangan Julia dan menyatukannya dengan tangan Sid. Untunglah kedua makhluk itu nurut. “Nah, gini kan bagus. Damai,” kata Sisy lega.
Akhirnya, Julia dan Sid tidak dapat menahan senyumnya lagi dan mereka semua pun berdamai.
***


Keterangan:

Ini adalah keisenganku, mengubah novel kak orizuka yang berjudul HSP (High School Paradise) menjadi dalem bentuk cerpen.

WHAT DU YU THINK ABOUT IT???? ^^

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya~ :)

 

bOLLywood-giRL.coM © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor